KACA MATA
SUBKHI 2014: Kado akhir tahun datang, tak perlu kata permisi untuk
menyerahkannya dan tak butuh kata selamat untuk menerimanya, semua berjalan
sekejab saja, pemerintah baru dengan wacana dan kebijalan baru masih belum
mampu mengelola kado ini secara bijaksana, kado yang sejatinya merupakan kado
lama ini menjadi sebuah masalah serius bagi pemerintahan. Kado lama ini adalah
SI Air ROB “Banjir”, Banjir menjadi rutinitas masalah tahunan bagi bangsa ini,
setiap pergantian tahun mesti terdapat banjir di Negara ini, baik di pusat kota
ataupun perbatasan desa, sehingga secara langsung maupun tidak langsung banjir
dapat menganggu jalannya perekonomian bangsa, ketika banjir datang hampir
keseluruhan aktifitas perekonomian berjalan melambat, produksi terhambat,
distribusi terlambat, dan konsumsipun terjerat, sehingga lazimlah bagi seorang
kaum pemberontak seperti saya untuk memberontak ditengah kepungan banjir yang
melanda negeri ini, ada beberapa hal yang membuat hati saya resah akan fenomena
banjir tahunan di Indonesia.mulai dari pemerintah yang sok hero sampai
masyarakat yang terlampau sabar akan kondisi hidupnya, disini akan saya
jabarkan satu persatu keresahan hati saya dengan realita hidup di era abad 21
ini.
Sebagai pengantar, saya menganalogikan
fenomena banjir tahunan ini dengan benalu dalam pohon mangga, selama benalu itu
hidup di pohon mangga maka selama itu pula pohon mangga tak mampu tumbuh
menjadi pohon mangga yang berbuah lebat, dan lambat laun pohon mangga itu akan
mati, dari analogi diatas maka kita dapat menarik makna bahwa selama banjir itu
ada maka selama itu pula pemerintah tak mampu melakukan pembangunan perekomian
secara merata sesuai dengan tuntutan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Benalu yang ada layaknya
dibasmi dengan memberikan obat gulma ataupun memotongnya sampai keakarnya. Sama
halnya dengan banjir, sudah berapa lama wilayah ekonomi kita terkepung dengan
banjir? sudah apa saja yang pemerintah lakukan untuk mengatasi banjir? sudah
berapa korban dari bencana banjir ini ? masihkah kita bertahan dengan kondisi
banjir yang semacam ini?, mungkin para pembaca agak sebel dengan pertanyaan
diatas, dan mungkin saja pembaca menyalakan saya karena seolah olah saya lebih
menyalakan pemerintah, dan seolah olah pula saya belum memberikan aksi nyata
untuk mengurangi banjir ini, hehe, terserahlah yang penting saya berargumen
disini sebagai mahasiswa, dimana mahasiswa sesuai dengan status sosialnya
memiliki peran sebagai control social dan agen perbaikan, maka dari itu tak
perlu saya bahas panjang lebar mengenai aksi saya, disini saya tekankan pada
peran saya sebagai control social yang memberikan kritik membangun untuk
pemerintah. Beberapa garis besar tentang keresahan hati saya akan fenomena
banjir tahunan ini adalah disaat banjir datang masyarakat korban banjir tahunan
terlampau sabar akan kondisi banjir yang menengelamkan harta bendanya, dimana
mereka seolah olah sudah terbiasa dan tak mampu berbuat apa apa ketika si air rob
ini datang ke wilayah mereka selain itu pemerintah cuman bisa show off sambil
bagi bagi bantuan makanan pada korban banjir dan berjanji akan menangani banjir
yang ada (pemerintah sok hero).
Kamis minggu lalu saya pulang dari
kampus pukul 19.30 saat itu hujan lebat menguyur kota Surabaya, diluar kampus
air hujan sudah tak mampu mengalir ke gorong gorong,akhirnya wilayah sekitar
kampuspun banjir setinggi 30 cm, memang saya sadari kota dengan label
metropolitan itu lebih memprioritaskan pembangunan gedung gedung mewah untuk
aktifitas perekonomiannya dibandingkan pembangunan gorong gorong besar ataupun
sirkulasi air untuk pelestarian lingkungannya, sehingga tak khayal kalau setiap
hujan turun kota dengan label metropolitanpun selalu banjir, tapi itu juga sangat
aneh, apa pemerintah kotanya Cuma tahu soal bangun membangun aja, kagak tahu
untuk apa pembangunan itu dilakukan, atau emang ada rahasia dibalik rahasia
tentang pembangunan wilayah metropolitan yang megah ini. Perjalanan pulang saya
melawati rute banyu urip, tanjung sari, manukan, smp wilayah gresik selatan,
dan ternyata rute wilayah perjalan saya saat itu hampir semuanya tergenang air serta
hamper semua kendaraan bermotor tidak dapat mengendarai kendaraannya, alhasil sayapun
harus mematikan mesin sepeda saya dan mendorongnya dari wilayah banyu urip sampai
pertigaan tanjung sari, selama saya mendorong kendaraan saya dan melewati
perkampungan yang dilanda banjir muncul beberapa pertanyaan dari pikiran saya ,
mengapa masyarakat tersebut betah hidup
di perkapungan yang setiap hujan turun pasti banjir, apa mereka sudah
kehilangan jiwa pemberontak,sehingga mereka tak mampu melapor pada pemerintah
setempat, saya semakin binggung dengan kondisi saat itu, apakah masyarakat itu
terlalu sabar dengan kondisi yang mereka terima ataukah mereka memang
masyarakat apatus yang taunya Cuma diri mereka sendiri dan tak mau tau akan
konsdisi social disekeliling mereka, mereka terlihat biasa saja, memang sangat tipis perbedaan masyarakat
yang terlampau sabar dan masyrakat apatis.
Hal lain yang membuat hati saya resah adalah beberapa
kebijakan pemerintah yang konyol, beberapa tahun yang lalu sempet ada julukan
menteri nasi bungkus di era orde baru, karena kebijakan nyeletuknya, menteri
itu bagi bagi nasi bungkus pada rakyat yang saat itu dalam keadaan susah, dan
tindaan itu dikecam habis habisan oleh kaum intelektual. Era reformasipun masih
mewarisi kebijakan ini, kebijakan bagi bagi bantuan makanan pada korban banjir,
ini aneh, wahay kaum birokrat sudah hilangkah jiwa birokratmu, dalam
kepemimpinanmu ini, kau tahu bahwa setiap tahun itu pasti ada banjir, dan
banjir itu bukan bencana alam, tapi bencana manusia dimana itu semua karena
ulah manusia bukan pergerakan alamiah, saya yakin anda tahu dan kerabat anda disanapun tahu
tapi mengapa anda tetap membiarkannya bahkan seolah olah memliharanya, banjir sekarang adalah ulah manusia yang
dipelihara oleh pemimpinnya!!!, kepemimpinan yang berorentasi kepentingan
pribadi membuat semua hal di arena kepemimpinannya sebagai objek komersil yang
layak untuk dikomersilkan, beberapa diskusi ringan saya dengan korban bencana
banjir di salah satu daerah membuahkan hasil bahwa salah satu akibat banjir
yang ada diwilayah itu adalah maraknya pembangunan perumahan dan pengalih
fungsian lahan dari lahan tadah hujan menjadi lahan bisnis baru. Dari situ saya
rasa MEMANG BANJIR ADALAH PELIHARAAN PEMERINTAH, dimana mungkin pemerintah
memaksudkan agar banjir tahunan ini akan tetap ada agar pembangunan jalan jalan
rusak, sarana prasarana public itu tetap ada, sehingga kontraktor pembangunan
itu tetap ngeksis dalam pembangunan daerah tersebut, apalagi kalau kontraktor
pembangunannya adalah pemimpin daerah tersebut, kalian merasa aneh nggak kalau
banjir yang setiap tahun itu nggak selesai selesai malahan tiap tahun semakin
besar, terus selama hamper 5 tahun kepemimpinannya pemimpin itu ngapain ajaaa ?
agak gemes deh sama pemerintah yang satu ini, mbok ya kalau uda nemu penyebab
utama banjirnya, langsung diatasi, pemerintah nggak open banget tentang penyebab
banjir akhir akhir ini, yang saya tahu pemerintah Cuma ninggikan jalan dengan
dalih biar banjirnya berkurang, persetan emang, saya nggak tahu penyebab
pastinya apa, tapi saya rasa sekelas pemerintah seharusnya tahu apa itu dan
harus bagaimana itu, tapi entah lagi kalau kebijakan kebijakan yang mengarah
pada kesejahteraan itu sudah dilumuri kepentingan yang beraroma komersial. Dan
lebih anehnya saat banjir itu sudah menimpa wilayahnya maka pemimpin itu akan
turun ke lokasi banjir sambil membawa bantuan dan mengeluh eluhkan namanya di
masyarakat tersebut hingga namanya tercantum besar di headline Koran yang
popular, gaya blusukan yang bernuansa heroless harus dibungkam dan dipenggal,
pemimpin sok hero yang semacam ini yang Cuma saat banjir saja kesana, yang
memberikan orasi dengan nada nada politik serta bagi bagi bantuan makanan, wahay pemimpinku, kami tak butuh bantuan
makanan kami butuh kenyamanan !!!, bertahun tahun kami hidup di pemukiman
banjir ini, tapi engkau Cuma bisa janji akan mengatasinya dan aksinyatamu Cuma
bisa bagi bagi bantuan makanan saja, anjiiing dah.
Bukan niat saya untuk mengecam anda, bukan hati juga kalau
saya nggak sabar dengan kondisi yang semacam ini, saya hanya ingin menyuarakan
suara yang akhir akhir ini memang idealnya untuk disuarakan pada pemerintah,
sudah lama mahasiswa menjadi kaum intelektual yang bungkam akan realita
kehidupan masyarakat, suara suara tuhan yang diamanahkan pada mereka kini hanya
tertinggal dalam kantong jas almamaternya atau terselip dalam buku kuliahnya,
ketika kaum intelektual sudah menjadi kaum bungkam yang apatis dengan kehidupan
maka apa bedanya seorang mahasiswa dengan siswa Taman kanak kanak yang mereka
juga bungkam dan cuma bisa main main saja.
0 komentar: