Pernyataan
“UAS adalah cari kami menyambut Tahun Baru” menjadi tranding topic dalam media
social akhir akhir ini. Kata sambutan identik dengan sebuah kenikmatan akan
tetapi benarkah ujian ini sebuah kenikmatan atau sebaliknya. Sebagai salah satu
bentuk evaluasi perkuliahan, ujian memang perlu dilakukan oleh kaum akademisi,
namun apakah semacam ini ???, beberapa hari lalu diskusi ringan telah dilakukan
untuk mengkaji efektifitas ujian ini, munculah sebuah konsepsi menarik mengenai
materi ini. Disadari atau tidak kita sudah hampir 12 tahun menjalankan ujian
ini, dari sekolah dasar sampai bangku perkuliahan pun kita masih merasakan
aroma evaluasi konvensional (UAS) ini, entah aroma kenikmatan atau siksaan.
Memang upaya mengevaluasi media evaluasi (UAS) ini tak selayaknya dilakukan
oleh penulis yang sejatinya masih baru baru ini menginjakan kaki di dunia
kampus, tapi tak perlu khawatir akan validasi dan kredibilitas argument yang ada,
karena penulis juga mengandeng beberapa angkatan atas dari berbagai jurusan
untuk mengkaji efektifitas ujian ini.
Tak
hanya diskusi ringan yang dilakukan untuk mengkaji efektifitas ujian ini,
penulis juga melakukan interview sederhana yang mendalam kepada beberapa
mahasiswa pilihan. Secara umum mahasiswa tidak menolak adanya UAS, karena ini
merupakan salah satu media evaluasi proses belajar kita, dimana kita bisa
mengetahui seberapa jauh pemahaman kita akan ilmu ilmu tersebut. Akan tetapi
sudahkah UAS sesuai dengan hakikatnya (media evaluasi) ?, perlu diketahui
bahwasannya tidak sedikit mahasiswa yang dewasa ini memiliki pemahaman bahwa UAS hanyalah media penentu hasil belajar,
dimana mahasiswa tahu kalau prosentase nilai dari UAS sangat tinggi sehingga mereka
harus susah payah, banting tulang, kerja rodi untuk mendapatkan hasil IPK yang
baik, oleh karena itu UASpun dijadikan media tolak ukur untuk menentukan “saya lulus atau mengulang”. Seolah
olah UAS adalah sebuah hal sakral yang ketika ditinggal maka kita akan mendapatkan
dosa besar. Mungkin pembaca akan menuduh penulis melakukan skenario tulisan,
dimana seolah olah argument yang ada adalah argument negative tentang UAS yang
notabennya itu adalah argument dari mahasiswa yang bodoh dan benci ujian, tapi
perlu diketahui oleh pembaca, bahwa mahasiswa pilihan itu diantaranya adalah
mahasiswa yang pernah menjadi mahasiswa berprestasi FEB, sehingga tulisan ini
bukan scenario, tapi tulisan nyata dari hati para mahasiswa.
Ketika
mindset “Penentu Hasil Belajar” sudah melekat pada mahasiswa yang akan
menghadapi UAS maka merekapun secara otomatis merasa bahwa UAS adalah Dewanya
nilai dan hal ini akan memunculkan argument menarik yaitu “Lebih baik Kuliah
langsung UAS” dan “nggak UAS ya Nggak belajar”
apa benar semacam itu ? tidak
!, sebagai kaum intelektual muda kita
layaknya melihat sesuatu dari bagaimana cara kita memperolehnya (Proses Oriented) bukan apa yang kita
peroleh (Result Oriented), oleh
karena itu pola pikir semacam itu selayaknya diperbaiki karena “Mahasiswa Agen Perbaikan bukan Agen
Perubahan” sehingga mahasiswa haruslah memperbaiki bukan mengubah, karena
perubahan tak pasti berujung pada perbaikan..
Setelah
melihat realita bahwa UAS merupakan penentu hasil belajar maka disadari atau
tidak mahasiswa setiap kali menghadapi evaluasi tengah tahunan ini selalu
merasa cemas, gelisah dan tak ada perasaan bahagia yang tercermin di raut wajah
meraka, ironi bukan. Selama ini ujian dianggap sebagai beban hidup, dan ketika
ujian itu dilakukan setiap satu semester sekali maka otomatis beban hidup
itupun akan menunpuk menjadi satu beban yang besar yang pada akhirnya akan
menjadi sebuah siksaan. Beda lagi kalau beban hidup itu dibagi menjadi bagian kecil,
misalnya saja pelaksanaan ujian dilakukan per bab sehingga materi yang kita
terima masih segar dan tidak bertumpuk tumpuk dengan materi lainnya dan UAS
dihapus, itupun bukan solusinya.
Dari
SD sampai kuliah kita melaksanakan UAS, sudahkah kalian tahu apa output (hasil)
dan tindak lanjut dari UAS itu ? selama ini kita terkesan menganggap nilai
ujian adalah output dari UAS, pemahaman yang semacam inilah yang membuat jadi diri UAS sebagai medi
evaluasi hilang dan berganti menjadi
media penentu nilai. Nilai nilai implisit yang terkandung dari hasil evaluasi
ini adalah : munculnya sikap rajin belajar, belajar bareng, dan semangat yang
tiada tara, tapi semua itu hanya bersifat semu atau sesaat aja, setelah ujian
selesai geliat untuk rajin belajar dan belajar bareng serta semangat yang
membara itupun perlahan lahan pudar. Beda lagi dengan nilai IPK, nilai IPK
hasil UAS akan tetap ada bahkan dijadikan sebagai media eksistensi oleh
beberapa mahasiswa, IPK ini merupakan output yang bernilai abadi bagi seluruh atau
sebagian mahasiswa.
Fenomena
output UAS yang semacam itu, membuat resah akan arah masa depan evaluasi
setengah tahunan ini, bagaimana dan apasih harapan akan UAS ini ?. Selama UAS
berbentuk soal yang memicu kita untuk mengorientasikan pemahaman yang 11-12
dengan buku maka selama itu daya kreasi kita terpenggal, sehingga kita akan
menjadi bangsa yang mau nggak mau nurut sama buku yang itu terkadang uda out
update. Selain itu prosentase nilai UAS perlu diatur ulang agar UAS tidak
menjadi indikator mutlak dalam penentuan nilai, sebagai bahan pertimbangan
untuk penentu kebijakan, UAS bisa berbentuk dengan produk produk riil hasil
olah pikir dari teori yang didapat, mungkin hal ini juga sudah dilakukan oleh
matakuliah pada departemen manajemen tapi masih belum dilakukan di seluruh
matakuliah yang ada di fakultas ini, tidak ada kata tidak mungkin dalam
menjadikan UAS produk riil sebagai indikator evaluasi di seluruh mata kuliah.
Seenggak enggaknya kita bisa membuat hasil dokumentasi yang dikemas dalam
bentuk video yang menjabarkan kondisi teori di buku dengan realita kehidupan di
masyarakat, mungkin hal itu lebih menarik dibandingkan dengan mengerjakan soal
selama 90 menit diruangan ber AC, memang suhunya digin tapi otak ini panas juga
bung, hehe just kidding. Setelah UAS produk riil ini dijalankan maka mahasiswa
akan berorientasi proses dari pada hasil, mereka akan mengeksplor daya
kreasinya dan yang paling utama mereka sudah melupakan UAS sebagai beban hidup,
mereka sudah mengnggap UAS adalah sebuah kenikmatan jiwa yang abadi.
Mengutip dari pernyataan salah satu mahasiswa
berpengaruh di FEB yaitu kang imam “Evaluasi pelaksanaan UAS perlu dilakukan
agar UAS tidak hanya sebagai formalitas” saya sependapat dengan beliau, memang
dewasa ini UAS perlu dievaluasi dengan kajian mendalam yang melibatkan peran
serta mahasiswa dan mahaguru sehingga muncullah kesepakatan bersama mengenai
evaluasi setengah tahunan ini. Tulisan ini bukan propaganda untuk menolak UAS
atau hal hal lain yang bernuansa negative akan kehidupan akademik kampus,
tulisan ini merupakan tulisan awal yang dimaksudkan agar mahasiswa mampu
menjadikan UAS sebagai MEDIA EVALUASI BUKAN MEDIA PENENTUAN NILAI AKADEMISI
!!!.
Hanyalah tuhan
yang tak pernah salah, maka saya yang hanya sebagai hambaNYA jelaslah punya
salah!!
Kritik dan saran
sangat dibuthkan dalam memperbaiki kaidah penulisan dan kontain (isi) bacaan,
informasi lebih lanjut bisa menghubungi secretariat LPPM SEKTOR GKM lt 2 FEB
UNAIR.
HIDUP HIDUPKAN
KEMBALI KEJAYAAN PERS MAHASISWA ! BANGKITLAH WAHAI SANG PEMUKA KEBENARAN TAK
PANDANG JABATAN !!!
0 komentar: