“ Kemiskinan bukan hanya soal pendapatan, pendidikan dan kesehatan tapi tentang AKSESIBILITAS pemenuhan kebutuhan“ Artikel ini sebag...

71 TAHUN KEMISKINAN INDONESIA


“ Kemiskinan bukan hanya soal pendapatan, pendidikan dan kesehatan tapi tentang AKSESIBILITAS pemenuhan kebutuhan“

Artikel ini sebagai kontemplasi tentang 71 tahun kemerdekaan indonesia. Kemiskinan selalu hadir disetiap tahun indonesia merdeka bahkan sebelum merdekapun bangsa ini sudah mengalami kemiskinan. Tidak ada referensi yang jelas tentang kapan dan bagaimana kemiskinan itu ada di indonesia, namun kita patut percaya bahwa kemiskinan ada sejak manusia mengenal kata miskin dan akan hilang ketika kata miskin tidak lagi digunakan.

Definisi dan alat ukur kemiskinan selama ini masih terlalu kaku dalam menentukan siapa dan berapa jumlah masyarakat miskin di indonesia, hanya karena pendapatan, jumlah asupan gizi, sanitasi dan rumah, masyarakat bisa dikategorikan miskin. Sehingga siapa dan berapa jumlah masyarakat miskin di setiap wilayah berbeda, data yang ada tidak bisa mencerminkan kondisi riil kemiskinan di indonesia.

Melihat kemiskinan bukan lewat angka pasti pada berbagai situs penyedia data, ataupun beberapa karya tulis ilmiah mahasiswa. Kemiskinan akan tampak secara jelas ketika kita langsung turun ke pemukiman masyarakat yang memiliki aksesibilitas yang rendah.  Apakah masyarakat yang berpenghasilan Rp 400.000  satu bulan bisa dikategorikan miskin ? atau bisakah masyarakat yang tidak memiliki rumah berlantai keramik dan sanitasi yang baik dapat dikategorikan miskin ? tentu tidak, pengamatan dan survey yang telah saya lakukan di wilayah kabupaten Bojonegoro dan Jombang beberapa hari lalu telah merubah definisi kemiskinan yang selama ini kita gunakan. Kemiskinan sangat identik dengan akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan. Masyarakat desa tidak bisa dikatakan miskin hanya karena mereka tidak berpenghasilan 1.25$ setiap hari, ataupun masyarakat kota tidak bisa dikatakan tidak miskin hanya karena pendapatannya lebih dari 1.25$ setiap hari, masyarakat desa dan kota yang dikatakan miskin adalah masyarakat yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu alat ukur kemiskinan secara pasti adalah langsung turun dan melihat langsung aksesibilitas masyarakat terkait pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Tujuh puluh satu tahun kemiskinan indonesia perlu dievaluasi, mulai dari aspek definisi dan alat ukur, jumlah dan tren kemiskinan sampai program pengentasannya. Kita sudah melihat ketidak akuratan definisi dan alat ukur kemiskinan di indonesia, karenanya jumlah penduduk yang sebenarnya miskin tidak dimasukan kategori miskin dan berlaku sebaliknya, pun demikian dengan alat ukurnya. Definisi dan alat ukur yang kurang akurat menjadikan jumlah penduduk miskin di indonesia dan tren kemiskinan di indonesia juga tidak akurat, angka angka kemiskinan yang sering ditampilkan oleh BPS dan lembaga penyedia data lainya masih dipertanyakan dalam kondisi riil di masyarakat, apakah jumlah tersebut sama dengan jumlah masyarakat miskin di indonesia, tentu tidak terlalu banyak asumsi dalam penghitungan jumlah masyarakat miskin yang ada, tren kemiskinan yang cenderung menurun hanya berdasarkan data bukan riil dilapangan, tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan akses untuk memperoleh kebutuhan di wilayah desa kedungadem dan jipurapah, kedua desa tersebut secara nyata mengalami kesulitan akses namun masyarakat desa tersebut tidak mau dikatakan miskin, sehingga pendekatan kemiskinan harusnya berubah dari yang kuantitatif dengan angka angka mutlak berganti pendekatan kualitatif yang memprioritaskan akses pemenuhan kebutuhan untuk kesejahteraan. Program pengentasan kemiskinan sering berganti di setiap era kepemimpinan presiden baru, ada kebijakan kebijakan pengentasan kemiskinan yang sejatinya sama namun dikemas ulang dengan nama berbeda agar ada pembaharuan saja, terkait program pengentasan kemiskinan di era presiden sekarang yaitu kartu sakti dinilai tidak ada kebermanfaatannya karena kartu indonesia sejahtera dikalangan masyarakat desa tidak bergunaka karena akses mereka dalam memenuhi kebutuhan terhambat, oleh karena itu program pengentasan kemiskinan baiknya tidak dipukul rata setiap wilayah tapi dibuat berdasarkan kebutuhan wilayah tersebut.

Setelah melihat kemiskinan indonesia sekarang dan masa lalu, maka saatnya untuk mencoba melihat kemiskinan indonesia dimasa yang akan datang, beberapa literatur media internet sudah mencoba mengambarkan kemiskinan indonesia dan dunia dimasa depan, misalnya saja :
1.       Asia bebas kemiskinan pada tahun 2020 ( ADB)
2.       Akhir kemiskinan global pada tahun 2030 (PBB)
3.       Tidak ada Negara miskin, Jakarta bebas kemiskinan pada tahun 2035 (Bill Gates, Ahok)
Dengan adanya beberpa rencana besar dari lembaga utama dunia untuk mengentaskan kemiskinan maka membuat upaya pengentasan kemiskinan di indonesia sedikit cerah, namun bisa dilihat dari beberapa literature diatas terjadi hal yang tidak konsisten terjait pengentasan kemiskinan di dunia dimana PBB sudah merencanakan dunia bebas kemiskinan pada tanggal 2030 namun Jakarta sendiri baru mencanangkan bebas kemiskinan tahun 2035.  Apapun itu upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan bukan saja dengan program dari atasan tapi juga dengan program turun lapangan oleh guru besar kemiskinan, seperti halnya yang dilakukan oleh Muhammad Yunus yang mendirikan Bank Rakyat untuk mengentaskan kemiskinan di Bangladesh.


-kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan proposal policy (usulan kebijakan), karya tulis ilmiah dan konferensi kemiskinan saja, kita harus turun langsung ke tempat kemiskinan itu baru kemiskinan akan terselesaikan-

NB : artikel ini dimuat dimajalah sektor edisi 32 tahun 2016

0 komentar: